Bisikan Hati di Tahun 2024

“Di antara keramaian dunia, ada satu senyum yang membekukan waktu, meresap ke dalam jiwa meski tak pernah kumiliki.”

Pada suatu pagi di tahun 2024, di bawah langit yang dihiasi warna lembut, hatiku terbangun oleh sebuah sensasi yang akrab—aku jatuh cinta sekali lagi. Dia muncul di hadapanku saat fajar, sebuah sosok yang menggugah jiwa. “Ah,” pikirku, “dia benar-benar cantik—siapa dia?” Betapa terkejutnya aku, dia berjalan di lorong yang sama, bagian dari perusahaan yang sama, dunia yang diam-diam mengorbit kami.

Dengan setiap pandangan, waktu seakan berhenti, alam semesta menahan napas, dan dalam keheningan itu, mataku hanya melihat dia. Mengapa pesona ini? Mungkin ini adalah cinta, kekuatan misterius yang menentang akal dan logika, yang kini memetakan jalan hatiku.

Di mataku, kekurangannya sirna, tersapu oleh aura lembut yang dipancarkannya. Hatiku, yang terperangkap dalam kerinduan baru ini, mendorongku untuk mendekat, meskipun jalan itu tampak gelap dan tidak dapat dilalui. Meskipun demikian, aku terus maju, mengejar secercah kemungkinan, sekecil apapun.

Hatiku berdebar dengan setiap pikiran tentang dia, setiap pertemuan membuat kata-kataku terbelit, suaraku menjadi gema yang gagap. Belum pernah sebelumnya jiwaku begitu terperangkap, meskipun aku pernah merasakan cinta, tidak pernah seperti ini.

Menariknya, interaksi kami hanya bisikan di angin, tatapan sekejap yang dipertukarkan di tengah kesibukan sehari-hari, namun aku terpesona, jatuh dengan sangat dalam tanpa keraguan. Senyumnya memiliki kekuatan untuk menerangi bahkan hari-hariku yang paling gelap, mengisi mereka dengan kehangatan dan warna.

Namun ada sebuah kebenaran yang pahit—aku tahu dia tidak memiliki perasaan romantis kepadaku. Tidak ada kerinduan rahasia yang terpantul di matanya. Aku bukan pahlawan yang gagah, bukan pangeran yang mempesona. Kesehatan dan vitalitas tidak terpancar dari diriku. Mungkin, aku seharusnya tidak pernah berani bermimpi untuk menjembatani jarak di antara kami.

Sekarang, aku menyerahkan diri pada perjalanan sunyi untuk memperbaiki diri, setiap langkah adalah janji yang dibisikkan pada malam. Dan seiring berjalannya hari, aku merenung: mungkin dia bukanlah untukku. Dengan ikhlas, aku mengirimkan doa kepada Allah—sebuah harapan untuk cintanya yang penuh kebahagiaan, seorang pendamping berharga untuk berjalan di sampingnya. Semoga momen yang mereka bagi menjadi harta kebahagiaan, sebuah mahakarya kebahagiaan yang rumit ditenun oleh waktu.

Ini adalah surat dariku, doaku, sebuah harapan yang dilontarkan ke arah yang tak terbatas. Sebuah keinginan bahwa di suatu pagi di masa depan, cinta akan menemukanku lagi, meskipun bukan bersamanya. Karena kerinduan ini, perasaan tanpa batas ini, adalah anugerah tersendiri, pengingat akan keindahan yang menanti di babak yang belum tertulis.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *